Home > Fiksi > Engkau Lelaki, Kelak Sendiri

Engkau Lelaki, Kelak Sendiri

Waktu itu aku masih berumur tiga tahun dan masih jadi satu-satunya anak bapak dan ibu. Bapak adalah penjaga loket bioskop. Tiap hari beliau berangkat jam satu siang dan baru pulang ke rumah menjelang tengah malam setelah semua jam pertunjukan film usai. Pekerjaan bapaklah yang membuatku tertarik, mengenal lalu mulai menyukai film. Bapak sering bercerita padaku tentang film-film yang sedang diputar di gedung bioskop tempatnya bekerja. Kalau filmnya sedang bagus, tak jarang bapak juga mengajak aku dan ibu ikut menonton.

Tiap malam sepulang kerja, bapak membawakan aku flyer film. Satu flyer tiap hari dan tak pernah absen. Bisa flyer film yang sedang diputar, bisa juga sisa flyer film-film lama yang masih banyak tersisa di gudang. Ibu bahkan membelikan aku keranjang plastik khusus untuk menyimpan flyer-flyer film yang tiap hari jumlahnya kian menumpuk itu. Dari flyer-flyer itu, aku jadi tahu dan hafal nama -nama seperti Yenny Rachman, El Manik, Rae Sita, Deddy Mizwar, Rano Karno, Dicky Zulkarnaen, Advent Bangun hingga Rhoma Irama dan trio warkop Dono, Kasino, Indro.

Malam itu aku menunggu bapak di ruang tamu dengan mata yang sudah terkantuk- kantuk. Ibu mengatakan kalau bapak akan pulang agak terlambat, karena film yang diputar malam ini adalah film besar yang akan ditonton banyak orang, film bersejarah yang tidak akan bisa dilupakan siapapun yang pernah menontonnya. Berkali- kali ibu memanggil dan menyuruhku segera tidur. Aku mengacuhkannya, karena yakin kalau bapak akan datang tak lama lagi membawa flyer film yang baru. Aku juga jadi penasaran dengan yang dikatakan ibu. Memangnya sebagus apa sih film yang sedang diputar sampai-sampai begitu menyibukkan bapak?

Benar saja, bapak datang tak lama kemudian dengan motor trail yang derunya sudah terdengar dari jarak sekian meter itu. Bapak memasukkan motornya ke ruang tamu, aku berlari menghambur ke arahnya, bapak menggendongku, lalu aku menggelayut manja ke pundaknya.

“Film apa yang sedang main, Pak?” Tanyaku waktu itu.

“Judulnya Pengkhianatan G30S PKI.” Jawab Bapak.

“Bagus filmnya?”

“Tentang pahlawan revolusi. Nanti pasti kau akan mempelajarinya kalau sudah sekolah.”

“Bapak bawa flyernya?” Tanyaku lagi. Bapak mengangguk, kemudian merogoh saku jaketnya. Selembar kertas berukuran setengah halaman folio lalu berpindah ke tanganku. Entah apa yang ada dalam otak kecilku saat melihat flyer itu. Aku memang belum bisa membaca, namun aku sungguh penasaran dengan gambar patung tujuh jenderal yang berdiri gagah di depan burung garuda raksasa itu.

Aku kemudian merengek agar diajak menonton juga. Bapak menjelaskan dengan sabar kalau film itu bukan untuk anak kecil. Banyak adegan yang terlalu sadis, bukan film untuk anak-anak, kelak kau bisa menontonnya di televisi dan banyak lagi alasan lainnya. Tapi aku tidak mau tahu, malam itu aku mengeluarkan senjata andalanku, yaitu menangis sejadi-jadinya dan sekeras-kerasnya. Kalau sudah seperti ini, tak ada lagi yang bisa bapak lakukan selain menuruti mauku dan bilang ya.

Keesokan harinya selepas maghrib, bapak menepati janjinya mengajakku nonton ke gedung bioskop tempatnya bekerja. Memang benar yang dikatakan ibu semalam, satu-satunya gedung bioskop di kota kami itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Aku duduk di dalam loket, memperhatikan bapak yang sibuk melayani antrian memanjang di depan loket gedung bioskop yang hanya punya satu studio itu. Setelah hampir setengah jam menunggu dan loket ditutup sementara, barulah bapak mengajakku masuk ke dalam studio. Kami berdiri di depan pintu masuk, bapak menggendongku, tak ada tempat duduk yang tersisa karena semuanya sudah terisi penuh.

Film dimulai, aku masih ingat dengan adegan pembuka tentang masjid yang diserang gerombolan PKI selepas Subuh. Selebihnya, adegan-adegan tentang rapat anggota PKI, anak kecil dan ibunya dari desa yang datang ke Jakarta, Bung Karno yang sedang sakit, anak laki-laki yang berlatih drumband memakai panci di rumah lalu dimarahi bapaknya, semua hanya tersisa samar-samar di ingatanku. Ada satu lagi adegan yang tetap tak bisa kulupakan dan membuatku miris hingga sekarang. Itu adalah adegan saat penculikan Mayjend Pandjaitan di rumahnya. Saat itu Jenderal Pandjaitan meminta waktu untuk berdoa sebelum truk tentara membawanya ke lubang buaya. Namun salah satu anggota pasukan berseragam Cakrabirawa tidak sabar, lantas memberondongnya dengan tembakan membabi buta. Jenderal Pandjaitan tewas di depan rumahnya. Salah satu anak perempuannya lalu berlari sambil menangis histeris, lalu meraupkan genangan darah ayahnya itu ke wajahnya. Aku reflek menutup mata saat melihat adegan mengerikan itu.

“Kenapa, Nak? Kamu takut?” Tanya bapak.

“Tidak.” Jawabku berbohong.

“Kenapa tidak berani melihat?” Tanya bapak lagi.

“Aku ngantuk, aku mau tidur”.

“Anak bandel, kan bapak sudah bilang. Ini bukan film untuk anak kecil.” Kata bapak gemas sambil mencium pipiku.

Bapak lalu menggendongku keluar studio dan kembali masuk ke ruangan loket. Bapak duduk di kursi panjang sambil menghitung uang hasil penjualan karcis, sementara aku tertidur di pangkuannya. Radio di dalam loket sedang memutar lagu dari penyanyi favorit bapak, Iwan Fals. Aku memang masih terlalu kecil untuk mengerti dengan lagu yang terdengar saat itu. Namun ketika aku mulai masuk usia sekolah, pelan-pelan bapak mengenalkanku pada karya-karya musisi luar biasa yang menjadi pujaan banyak orang itu. Bapak bilang kalau lagu-lagunya Iwan Fals adalah musik yang sangat laki-laki. Iwan Fals punya lagu-lagu yang sangat berani dalam hal mengkritik pemerintah. Iwan Fals juga bisa menyanyikan lagu cinta tanpa terdengar cengeng. Beda jauh dengan lagu-lagu cinta lain yang tahun itu didominasi oleh Obbie Messakh dan kawan-kawan. Aku hanya manggut-manggut mendengar semua cerita bapak, tanpa mengerti benar apa yang dimaksud bapak dengan ‘cinta’.

Hingga sekarang, saat aku sudah sebesar ini, film Pengkhianatan G30S PKI dan lagu-lagunya Iwan Fals selalu berhasil membangkitkan kenangan manisku dengan bapak. Dibandingkan dengan ketiga adikku, aku dan bapak memang yang paling banyak punya kesamaan dalam beberapa hal. Termasuk selera musik, ketertarikan dan kecintaan pada film, kecanduan berlebihan pada kopi dan rokok Gudang Garam Filter, dan masih banyak lagi. Dulu saat jaman kuliah dan mudik saat lebaran, bapak selalu mengajakku nongkrong di warung kopi di depan gedung bioskop tempat kerjanya dulu. Bapak kini tak lagi bekerja di sana, sekarang bapak sudah menjadi pegawai negeri dengan hidup yang lebih baik. Yang berangkat jam tujuh pagi dan pulang jam tiga sore tiap harinya.

Kini bapak sudah tiada. Tiga tahun yang lalu, saat masih kuliah di Malang, suatu pagi ibu menangis meneleponku dari rumah menyampaikan berita duka itu. Berita kalau bapak telah meninggal dalam tidurnya. Bapak memang punya penyakit jantung, tapi energinya seperti tak pernah habis. Bapak sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. Bahkan dua hari sebelumnya bapak masih meneleponku dan mengatakan siap hadir di acara wisudaku yang tinggal seminggu lagi. Tidak ada firasat apapun yang datang kepadaku menjelang kepergiannya.

Dalam perjalanan pulang ke rumah yang memakan waktu delapan jam itu, pengamen dalam bis yang kutumpangi menyanyikan salah satu lagu Iwan Fals. Lagu yang seakan mengiringi kesedihan dan kepanikanku untuk segera sampai di rumah dan memberikan penghormatan terakhir di pemakaman bapak.

“Duduk sini Nak dekat pada bapak

Jangan kau ganggu ibumu

Turunlah lekas dari pangkuannya

Engkau lelaki kelak sendiri..”

***

Categories: Fiksi Tags: , , , ,
  1. 17/08/2010 at 5:58 am

    KEREN! menyentuh sekali! unsur politiknya dibalut manis. aku perempuan, tapi juga dekat dengan Bapak 🙂 Salam kenal

  2. 18/08/2010 at 7:50 am

    Terharu, pengen nangis 😥
    Bagus bangeeeeet.

  3. 19/08/2010 at 5:34 am

    Keren.
    Oh iya salam kenal bang faisal.

  4. 19/08/2010 at 6:55 am

    Edun. Bikin mewek, Gan!

  5. iyank
    07/09/2010 at 4:17 pm

    *mataku menghangat*

  6. 30/01/2011 at 12:09 pm

    ah, sedih! )’:

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to Septa Mellina Cancel reply